KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Pendidikan Agama Islam Semester ke-1 tahun 2012/2013.
Berkat rahmat dan karunianya, serta di dorong kemauan yang keras disertai kemampuan yang ada, akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang membahas tentang ”AKHLAK” dalam mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Makalah berisi tentang “akhlak”. Manusia yang hidup dalam bimbingan akhlak akan melahirkan suatu kesadaran untuk berprilaku yang sesuai dengan tuntutan dan tuntunan Allah dan Rasulnya, serta akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan penulis, maka kritik dan saran yang membangun, sangat kami harapkan demi kebaikan dimasa mendatang dan semoga bermanfaat bagi pembaca yang budiman dan khususnya pembaca.
Cirebon,20 Desember 2012
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………... i
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………. ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………………………………………………….. 1
1.2 Rumusan masalah ………………………………………………….. 1
1.3 Tujuan Penulis ……………………………………………………... 1
BAB II PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN AKHLAK
2.1 Pengertian Akhlak ……..…………………………………………… 2
2.3 Pembagian Akhlak ……. …………………………………………... 2
BAB III PEMBINAAN AKHLAKUL KARIMAH DALAM KEHIDUPAN
SEHARI-HARI
3.1 Pembinaan Akhlakul Karimah …………………………………….. 5
BAB IV AKHLAK DALAM BIDANG EKONOMI
4.1 Akhlak Dalam Bidang Ekonomi ………………………………… 7
4.2 Monopoli Dalam Hukum Nasional ……. ………………………….. 10
4.3 Monopoli Dalam Hukum Islam ……………………..…………… 11
4.4 Fakta Yuridis ……………………………………………………... 13
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ………………………………………………………. 15
Daftar Pustaka ………………………………………………………...
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengertian Akhlak Secara Etimologi, Menurut pendekatan etimologi, perkataan “akhlak” berasal dari bahasa Arab jama’ dari bentuk mufradnya “Khuluqun” yang menurut logat diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuain dengan perkataan “khalkun” yang berarti kejadian, serta erat hubungan ” Khaliq” yang berarti Pencipta dan “Makhluk” yang berarti yang diciptakan. Pengertian akhlak adalah kebiasaan kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut akhlak .Jadi pemahaman akhlak adalah seseorang yang mengeri benar akan kebiasaan perilaku yang diamalkan dalam pergaulan semata – mata taat kepada Allah dan tunduk kepada-Nya. Oleh karena itu seseorang yang sudah memahami akhlak maka dalam bertingkah laku akan timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan dan yang menyatu, membentuk suatu kesatuan tindakan akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian.Dengan demikian memahami akhlak adalah masalah fundamental dalam Islam. Namun sebaliknya tegaknya aktifitas keislaman dalam hidup dan kehidupan seseorang itulah yang dapat menerangkan bahwa orang itu memiliki akhlak. Jika seseorang sudah memahami akhlak dan menghasilkan kebiasaan hidup dengan baik, yakni pembuatan itu selalu diulang – ulang dengan kecenderungan hati (sadar)2 .Akhlak merupakan kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan dan yang menyatu, membentuk suatu kesatuan tindakan akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian. Semua yang telah dilakukan itu akan melahirkan perasaan moral yang terdapat di dalam diri manusia itu sendiri sebagai fitrah, sehingga ia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak berguna, mana yang cantik dan mana yang buruk.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dan pembagian akhlak ?
b. Bagaimana pembinaan akhlakul karimah dalam kehidupan sehari-hari ?
c. Bagaimana akhlak dalam bidang ekonomi?
1.3 Tujuan Penulis
a.Mengetahui pengertian dan pembagian akhlak.
b.Mengetahui pembinaan akhlakul karimah dalam kehidupan sehari-hari.
c.Mengetahui bagaimana akhlak dalam bidang ekonomi.
BAB II
PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN AKHLAK
2.1 Pengertian Akhlak
Diterjemah dari kitab Is’af thalibi Ridhol Khllaq bibayani Makarimil Akhlaq.Akhlak adalah sifat-sifat dan perangai yang diumpamakan pada manusia sebagai gambaran batin yang bersifat maknawi dan rohani.Dimana dengan gambaran itulah manusia dibangkitkan disaat hakikat segala sesuatu tampak dihari kiamat nanti.
Akhlak adalah kata jamak dari khuluk yang kalau dihubungkan dengan manusia,kata khuluk lawan kata dari kholq. Perilaku dan tabiat manusia baik yang terpuji maupun yang tercela disebut dengan akhlak.Akhlak merupakan etika perilaku manusia terhadap manusia lain,perilaku manusia dengan Allah SWT maupun perilaku manusia terhadap lingkungan hidup.
Segala macam perilaku atau perbuatan baik yang tampak dalam kehidupan sehari-hari disebut akhlakul kharimah atau akhlakul mahmudah.Acuhannya adalah Al-Qur’an dan Hadist serta berlaku universal.
2.2 Pembagian Akhlak
Pembagian akhlak yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah menurut sudut pandang Islam, baik dari segi sifat maupun dari segi objeknya. Dari segi sifatnya, akhlak dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertama, akhlak yang baik, atau disebut juga akhlak mahmudah (terpuji) atau akhlak al-karimah; dan kedua, akhlak yang buruk atau akhlak madzmumah.
a.) Akhlak Mahmudah
“Akhlak mahmudah adalah tingkah laku terpuji yang merupakan tanda keimanan seseorang. Akhlak mahmudah atau akhlak terpuji ini dilahirkan dari sifat-sifat yang terpuji pula”.
Sifat terpuji yang dimaksud adalah, antara lain: cinta kepada Allah, cinta kepda rasul, taat beribadah, senantiasa mengharap ridha Allah, tawadhu’, taat dan patuh kepada Rasulullah, bersyukur atas segala nikmat Allah, bersabar atas segala musibah dan cobaan, ikhlas karena Allah, jujur, menepati janji, qana’ah, khusyu dalam beribadah kepada Allah, mampu mengendalikan diri, silaturrahim, menghargai orang lain, menghormati orang lain, sopan santun, suka bermusyawarah, suka menolong kaum yang lemah, rajin belajar dan bekerja, hidup bersih, menyayangi inatang, dan menjaga kelestarian alam.
b.) Akhlak Madzmumah
“Akhlak madzmumah adalah tingkah laku yang tercela atau perbuatan jahat yang merusak iman seseorang dan menjatuhkan martabat manusia.”
Sifat yang termasuk akhlak mazmumah adalah segala sifat yang bertentangan dengan akhlak mahmudah, antara lain: kufur, syirik, munafik, fasik, murtad, takabbur, riya, dengki, bohong, menghasut, kikil, bakhil, boros, dendam, khianat, tamak, fitnah, qati’urrahim, ujub, mengadu domba, sombong, putus asa, kotor, mencemari lingkungan, dan merusak alam.
Demikianlah antara lain macam-macam akhlak mahmudah dan madzmumah. Akhlak mahmudah memberikan manfaat bagi diri sendiri dan orang lain, sedangkan akhlak madzmumah merugikan diri sendiri dan orang lain. Allah berfirman dalam surat At-Tin ayat 4-6.
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan mereka ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali yang beriman dan beramal shalih, mereka mendapat pahala yang tidak ada putusnya.”
Dalam sebuah hadis Rasulullah saw. bersabda.
“Sesungguhnya manusia yang berakhlak mulia dapat mencapai derajat yang tinggi dan kedudukan mulia di Akhirat. Sesungguhnya orang yang lemah ibadahnya akan menjadi buruk perangai dan akan mendapat derajat yang rendah di neraka Jahanam.” (HR. Thabrani)
Kemudian, dari segi objeknya, atau kepada siapa akhlak itu diwujudkan, dapat dilihat seperti berikut:
1.) Akhlak kepada Allah, meliputi antara lain: ibadah kepada Allah, mencintai Allah, mencintai karena Allah, beramal karena allah, takut kepada Allah, tawadhu’, tawakkal kepada Allah, taubat, dan nadam.
2.) Akhlak kepada Rasulullah saw., meliputi antara lain: taat dan cinta kepda Rasulullah saw.
3.) Akhlak kepada keluarga, meliputi antara lain: akhlak kepada ayah, kepada ibu, kepada anak, kepada nenek, kepada kakek, kepada paman, kepada keponakan, dan seterusnya.
4.) Akhlak kepada orang lain, meliputi antara lain: akhlak kepada tetangga, akhlak kepada sesama muslim, kepada kaum lemah, dan sebagainya.
5.) Akhlak kepada lingkungan, meliputi antara lain: menyayangi binatang, merawat tumbuhan, dan lain-lain.
BAB III
PEMBINAAN AKHLAKUL KARIMAH DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
3.1 Pembinaan Akhlakul karimah
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna jika dibandingkan dengan makhluk lain dan juga manusia sebagai penerima dan pelaksana ajaran-Nya. Oleh karena itu manusia ditempatkan pada kedudukan yang mulia jika dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah yang lain. Agar manusia dapat mempertahankan kedudukan yang mulia dan tinggi tersebut. Maka Allah membekali manusia dengan akal dan perasaan yang memungkinkan manusia untuk menerima dan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam suatu proses pendidikan. Kemudian mengembangkan ilmu tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari, serta akal pula yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Selain itu akal dan perasaan dapat menentukan kedudukan seseorang dalam lingkungan sosial dalam melaksanakan segala hal bentuk kegiatan dengan penuh cermat dan tanggung jawab.
Agama Islam merupakan suatu agama yang didalamnya, mengandung ajaran bagi seluruh umat-Nya. Salah satu ajaran Islam yang paling mendasar adalah masalah akhlak. Yang mana akhlakul karimah tersebut di wajibkan oleh Allah. Sebagaimana yang telah disebut dalam salah satu firman Allah surat Luqman yang berbunyi:
“ Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”.
Berdasarkan ayat diatas maka akhlakul karimah dalam keluarga ini diwajibkan pada setiap orang. Yang mana akhlak tersebut banyak menentukan sifat dan karakter seseorang, khususnya dalam pergaulannya.
Seseorang akan dihargai dan dihormati apabila memiliki sifat atau mempunyai akhlak mulia. Demikian juga sebaliknya dia akan dicampakkan dan dibenci apabila dia berakhlak yang buruk dan tercela, bahkan di hadapan Allah akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang yang dilakukannya.
Sebagaimana juga kita ketahui bahwa nilai dan harga manusia itu terletak pada akhlaknya yaitu tingkah laku dan amal perbuatannya, semakin luhur akhlak seseorang, semakin tinggi nilai dan harga dirinya. Karena itu upaya pembinaan dan peningkatan akhlak dalam melestarikan martabat manusia adalah teramat penting dan dalam hal ini Islam dengan segenap aspek ajarannya merupakan salah satu alternative sebagai pedoman dan tuntunan.
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk sosial yaitu tidak akan bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, dengan kata lain manusia hidup dalam suatu masyarakat, dalam kehidupan bermasyarakat ini akhlak mempunyai peranan yang penting sekali, khususnya dalam kehidupan sehari-hari, sebab kejayaan suatu negara itu terletak pada akhlak masyarakatnya.
Demikian pula kehancuran di muka bumi ini disebabkan perbuatan manusia itu sendiri sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 41 yang berbunyi :
“telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
BAB IV
AKHLAK DALAM BIDANG EKONOMI
4.1 Akhlak Dalam Bidang Ekonomi
Perdagangan bebas terus bergulir dan sulit untuk dihindari. Terlebih di era kecanggihan informasi dan teknologi seperti sekarang ini, apapun bisa di perjual belikan dengan mudah dan cepat, meski tanpa harus bertemu muka antara produsen dan kosumen di dua wilayah yang berjauhan.
Akibatnya persaingan bisnis pun saat ini menjadi semakin ketat dan keras. Kalau dulu pesaing kita adalah “pemain” lokal, kini kita akan berhadapan dengan “pemain-pemain” berskala nasional, regional bahkan internasional. Bukan hanya itu, dalam perkembangannya persaingan bisnis saat ini cenderung mengarah pada praktik persaingan liar yang menghalalkan segala cara (machiavelistik).
Istilah persaingan usaha yang sehat kini terasa semakin berkembang di tanah air. Tidak hanya bagi kalangan ahli hukum dan akademisi melainkan juga di kalangan masyarakat, perlahan tetapi pasti mulai memahami dan menyadari tujuan dan manfaat dari kelahiran UU No. 5 tahun1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Peluang-peluang usaha yang tercipta selama dasawarsa yang lalu dalarn kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi. Perkembangan usaha swasta selama periode tersebut di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan pemerintah yang kurang tepat sehingga pasar menjadi terdistorsi. Di sisi lain, perkembangan usaha swasta dalam kenyataannya sebagian besar merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat.
Fenomena di atas telah berkembang didukung oleh adanya hubungan saling terkait antara pengambil keputusan dengan para pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga memperburuk keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang mengacu kepada amanat Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945, serta cenderung menampakkan corak yang sangat monopolistik. Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan jatah berlebih, sehingga berdampak pada munculnya kesenjangan sosial. Munculya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing.
Perkembangan bisnis di Indonesia telah menyebabkan timbulnya kelompok-kelompok raksasa konglomerat. Di samping ada unsur positifnya, perkembangan tersebut telah menimbulkan dampak negatif berupa tidak terlindunginya usaha kecil maupun konsumen. Monopoli dan trust telah menjadi masalah yang krusial di negeri ini.
Dalam melakukan kegiatan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Kegiatan yang dilarang dalam praktek bisnis adalah monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, persekongkolan, posisi dominan, jabatan rangkap, pemilikan saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis (Elsi Kartika Sari, Hukum dalam Ekonomi, Grasindo, Jakarta, 2007. hlm. 172).
Persoalan monopoli sesungguhnya merupakan persoalan yang sangat menarik untuk dibahas. Bahkan permasalahan ini telah mendapat perhatian yang sangat serius dari ajaran Islam, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT: “…agar harta itu jangan hanya berputar di kalangan orang-orang kaya di antara kamu sekalian…” (QS 59: 7). Selain riba, monopoli adalah komponen utama yang akan membuat kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir kelompok, sehingga menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi.
Para ulama terkemuka abad pertengahan pun, seperti Ibn Taimiyyah, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, dan Ibn Khaldun, telah pula melakukan kajian yang mendalam tentang praktik monopoli. Ibn Taimiyyah misalnya, dalam kitabnya Al-Hisbah fil Islam menyatakan bahwa ajaran Islam sangat mendorong kebebasan untuk melakukan aktivitas ekonomi sepanjang tidak bertentangan dengan aturan agama.
Negara bertanggung jawab penuh untuk menciptakan keadilan ekonomi, dengan memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Karena itulah, beliau menekankan pentingnya keberadaan lembaga al-Hisbah sebagai organ negara yang bertugas untuk memonitor pasar, mengawasi kondisi perekonomian dan sekaligus mengambil tindakan jika terjadi ketidakseimbangan pasar akibat monopoli dan praktik-praktik lain yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya At-Turuk al-Hukmiyyah (Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: IIIT, 2002, hlm.151).
Sementara itu, Ibn Khaldun dalam kitab Muqaddimah juga menyatakan pentingnya peran negara dalam menciptakan keadilan ekonomi dan keseimbangan pasar. Ia menegaskan bahwa pajak (dan juga denda) adalah instrumen yang dapat digunakan oleh negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sekaligus untuk mengeliminasi praktik-praktik kecurangan yang terjadi di pasar, termasuk praktik-praktik monopoli yang dilakukan oleh segelintir pebisnis.
4.2 Monopoli dalam Hukum Nasional
Monopoli diartikan sebagai sebuah pasar yang hanya memiliki satu penjual (produsen) tetapi memiliki banyak pembeli (Pindyck, Robert S., and Daniel Rubinfeld, Microeconomics, sixth edition (New Jersey: Prentice Hall), 2005, hlm. 339). Dengan demikian, penawaran monopolis sekaligus juga sebagai penawaran pasar (industri), dengan kata lain permintaan terhadap output perusahaan merupakan permintaan industri. Dapat dikatakan bahwa monopolis tidak memiliki kompetitor. Dalam kenyataannya jarang ditemukan monopoli murni (pure monopoly), yang banyak ditemukan adalah kondisi di mana hanya terdapat sedikit perusahaan (produsen) yang bersaing di dalam pasar.
Secara umum pasar monopoli dicirikan oleh karakteristik-karakteristik sebagai berikut:
1. Pasar monopoli adalah pasar dengan satu perusahaan (produsen).
2. Tidak mempunyai barang pengganti yang mirip (close substitution).
3.Tidak ada kemungkinan untuk masuk dalam industri, hambatan masuk ke dalam pasar (entry barrier) sangat tinggi.
4.Monopolis menguasai penentuan harga (price setter).
5. Promosi iklan kurang diperlukan
Berdasarkan karakteristik ke empat, monopolis memiliki apa yang disebut sebagi market power, yaitu kekuatan/kemampuan untuk menentukan harga dari suatu barang di pasar. Sumber-sumber market power yang dimiliki oleh monopolis, dalam hal ini disebut sebagai monopoly power antara lain adalah: (i) elastisitas permintaan pasar, (ii) jumlah perusahaan dalam pasar, (iii) interaksi di antara perusahaan di dalam pasar.
Dalam pandangan hukum nasional, monopoli tentu dilarang. Hal itu sesuai dengan Undang-undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
4.3 Monopoli dalam Hukum Islam
Pada dasarnya dalam ekonomi Islam, monopoli tidak dilarang, siapapun boleh berusaha/berbisnis tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual (monopoli) atau ada penjual lain, asalkan tidak melanggar nilai-nilai Islam. Dalam hal ini yang dilarang berkaitan dengan monopoli adalah ikhtikar, yaitu kegiatan menjual lebih sedikit barang dari yang seharusnya sehingga harga menjadi naik untuk mendapatkan keuntungan di atas keuntungan normal, di dalam istilah ekonomi kegiatan ini disebut sebagai monopoly’s rent seeking behaviour. Sehingga sekarang dapat dibedakan antara monopoli dan ikhtikar dalam terminology ekonomi Islam.
Pelarangan ikhtikar bersumber dari Hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa. “Tidaklah orang melakukan ikhtikar kecuali ia berdosa.” (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Dalam riwayat yang lain Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa memonopoli bahan makana selama empat puluh hari, maka sesungguhnya ia telah berlepas diri dari Allah dan Allah berlepas diri darinya.” (HR Ahmad).
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat mengenai dua hal tentang ikhtikar di antara para ahli fiqih, yakni jenis barang dan waktu diharamkannya ikhtikar. Karena keterbatasan referensi, alam pembahasan mengenai hal tersebut, penulis hanya dapat mengutip pendapat beberapa ahli fikih yakni pendapat Imam al-Ghazali dan Yusuf Qardhawi. Menurut Imam al-Ghazali pengharaman ikhtikar hanya terbatas pada barang-barang kebutuhan pokok, selain kebutuhan pokok termasuk penopang bahan makanan pokok seperti obat-obatan, jamu-jamuan, wewangian, dan sebagainya tidak dikenakan larangan meskipun termasuk barang yang dimakan. Pendapat ini berbeda dengan pendapat Yusuf Qardhawi yang menurutnya pengharaman ikhtikar tidak terbatas pada barang kebutuhan pokok saja melainkan barang yang dibutuhkan manusia, baik makan pokok, obat-obatan, pakaian, peralatan sekolah, peraabotan rumah tangga, dan lain sebagainya.
Waktu pelarangan ikhtikar menurut Imam al-Ghazali adalah dikhususkan pada waktu persediaan bahan makanan sangat sedikit sementara orang-orang sangat membutuhkannya, sehingga tindakan menangguhkan penjualan dapat menimbulkan bahaya. Namun jika bahan makanan berlimpah ruah dan orang tidak begitu membutuhkan dan menginginkannya kecuali dengan harga yang rendahk kemudian penjual menunggu perubahan kondisi itu dan tidak menunggu sampai paceklik, maka tindakan ikhtikar tidak termasuk tindakan yang membahayakan tersebut.
Dari uraian di atas dapat disimpulakan bahwa terdapat tiga syarat ikhtikar menurut Imam al-Ghazali, yakni: (i) obyek penimbunan merupakan barang-barang kebutuhan masyarakat; (ii) waktu penimbunan adalah pada waktu persediaan bahan makanan sangat sedikit, atau dapat dikatakan pada masa paceklik.
(ii)tujuan penimbunan adalah untuk meraih keuntungan di atas keuntungan normal. Sehingga tindakan untuk menyimpan barang untuk keperluan persediaan tidak dilarang.
Secara singkat, Adiwarman Karim menyatakan bahwa suatu kegiatan masuk ke dalam kategori ikhtikar apabila terpenuhinya syarat-syarat di bawah ini:
1.Mengupayakan adanya kelangkaan barang, baik dengan cara menimbun stok atau mengenakan hambatan masuk kepada perusahaan lain untuk masuk ke dalam pasar (entry barriers).
2.Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibangingkan dengan harga sebelum munculnya kelangkaan.
3.Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum syarat 1 dan 2 dilakukan.
Pandangan ekonomi Islam terfokus pada masalah mekanisme penentuan harga, yang di dalam monopoli (dengan ikhtikar) yang cenderung berpotensi merugikan konsumen di satu pihak dan menguntungkan produsen di pihak lain, sebab harga ditentukan lebih berorientasi kepada kepentingan produsen saja. Dalam ajaran Islam, meskipun keuntungan yang dihasilkan tanpa melakukan ikhtikar lebih sedikit, akan tetapi merupakan keutungan yang mencerminkan keadilan baik untuk penjual (produsen) maupun untuk pembeli (konsumen), atau dengan kata lain harga harus mencerminkan keadilan baik dari sisi produsen maupun konsumen. Hal tersebut dikaitkan dengan parameter etis yang dapat merepresentasikan ajaran Islam. Selain keadilan (adl), paremeter etis yang membedakan ajaran ekonomi Islam dan ekonomi konvensional adalah kesederhanaan, dan persaudaraan.
Islam merupakan satu-satunya agama yang mengemukakan prinsip-prinsip yang meliputi semua segi kehidupan manusia, tidak hanya membicarakan tentang nilai-nilai ekonomi. Islam juga telah menanamkan kerangka kerja yang luas berdasarkan kesempatan berekonomi yang sama dan adil bagi penganutnya untuk mengarahkan mereka ke arah kehidupan ekonomi yang seimbang.
Sebagai agama yang komprehensif tentunya aktivitas ekonomi sebagai kegiatan vital kemanusiaan tidak luput dari perhatian. “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS Al-Baqarah [2]: 275), Ayat-ayat inilah yang menunjukkan sebagian dari sekian banyak ayat Al-Qur’an yang merujuk pada aktivitas ekonomi.
4.4 Fakta Yuridis
Fakta yuridus yang terjadi di lapangan adalah masih banyaknya praktek monopoli yang dilakukan oleh pengusaha dalam berbisnis, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di Indonesia, liberalisasi media sejak reformasi 1998 telah membawa pengaruh yang sangat penting dalam demokratisasi. Perubahan tersebut sangat jelas dan dirasakan langsung oleh masyarakat. Perkembangan yang kuat pada masa Reformasi ialah, diperjelas dan dipertegasnya kebebasan pers dalam konstitusi (UUD 1945) dan Undang-undang Pers dan semakin kukuhnya liberalisasi ekonomi. Pengaruh liberalisme bersamaan dengan kebebasan media dan demokrasasi telah mendorong tampilnya neoliberalisme, dan media massa adalah bagian penting neoliberalisme tersebut. Kebebasan atau liberalisasi media juga memberikan keleluasaan dalam pemilikan media yang oleh pemodal kesempatan tersebut bergegas dimanfaatkan karena menjadi bagian dari strategi bisnis yang menguntungkan.
Sebuah monopoli yang diberikan pemerintah (juga disebut “de jure monopoli”) adalah bentuk monopoli koersif dimana pemerintah memberikan keistimewaan eksklusif untuk individu pribadi atau perusahaan untuk menjadi penyedia tunggal barang atau jasa; pesaing potensial dikeluarkan dari pasar oleh hukum, peraturan, atau mekanisme lain penegakan pemerintah. Hak cipta, paten dan merek dagang adalah contoh monopoli yang diberikan pemerintah.
Monopoli memiliki potensi besar untuk kerusakan, baik ekonomi dan pemerintahan yang demokratis (walaupun mereka dapat sangat bermanfaat untuk jenis lain pemerintah. Sayangnya, tingkat kerusakan penuh biasanya tidak jelas, setidaknya kepada masyarakat umum, sebagai efek yang tampaknya menguntungkan. Dan monopolis sering pergi ke panjang ekstrim untuk menyamarkan atau menyembunyikan efek berbahaya tersebut. Di antara cara-cara di mana monopoli tidak diatur dapat merusak perekonomian adalah dengan menyebabkan:
(1) Secara substansi harga lebih tinggi dan tingkat output yang lebih rendah daripada yang ada jika produk yang dihasilkan oleh perusahaan kompetitif.
(2) tingkat kualitas yang lebih rendah daripada yang akan ada. Ini termasuk tidak hanya kualitas barang dan jasa sendiri, tetapi juga kualitas layanan yang terkait dengan barang dan jasa.
(3) Kemajuan lambat dalam pengembangan dan penerapan teknologi baru. Kemajuan teknologi dapat meningkatkan kualitas (misalnya, kemudahan penggunaan, daya tahan, ramah lingkungan) produk, dan mereka juga dapat mengurangi biaya produksi mereka. Inovasi ini tidak diperlukan bagi pelaku monopoli seperti pada sebuah perusahaan yang sangat kompetitif, dan, pada kenyataannya, dapat menjadi strategi bisnis yang buruk.
Untuk mengawasi persaingan usaha di Indonesia, pemerintah telah membentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Komisi ini bertugas untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha yang tidak sehat. Hal tersebut telah diatur dalam UU No. 5 tahun 1999.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Jadi akhlak adalah merupakan tingkah laku manusia yang tampak dan dapat dilihat pada dirinya yang didorong oleh hati nurani, pemikiran, serta rasio.
Segala macam perilaku atau perbuatan baik yang tampak dalam kehidupan sehari-hari disebut akhlakul kharimah atau akhlakul mahmudah
Akhlakul karimah(sifat-sifat terpuji) ini banyak macamnya,diantaranya adalah husnuzzan,gigih,berinisiatif,rela berkorban,tata karmaterhadapmakhlukAllah,adil,ridho,amal shaleh,sabar,tawakal,qona’ah,bijaksana,percaya diri,dan masih banyak lagi
Pada dasarnya dalam ekonomi Islam, monopoli tidak dilarang, siapapun boleh berusaha/berbisnis tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual (monopoli) atau ada penjual lain, asalkan tidak melanggar nilai-nilai Islam. Dalam hal ini yang dilarang berkaitan dengan monopoli adalah ikhtikar, yaitu kegiatan menjual lebih sedikit barang dari yang seharusnya sehingga harga menjadi naik untuk mendapatkan keuntungan di atas keuntungan normal, di dalam istilah ekonomi kegiatan ini disebut sebagai monopoly’s rent seeking behaviour. Sehingga sekarang dapat dibedakan antara monopoli dan ikhtikar dalam terminology ekonomi Islam.
0 Komentar untuk "Contoh Makalah Pendidikan Agama Islam (Pai) Tentang Ahklak"